Sabtu, 02 Mei 2015

"KARDUS" Koper Yang Tertunda

Dulu sih waktu masih cupu, waktu masih belasan tahun sih :b ada istilah 'moleyan' yang artinya adalah mudik tapi bukan saat lebaran. Kembali ke udik pada saat liburan panjang lebih tepatnya. Ada 'moleyan' pasti ada 'baliyan' (balik/kembali.red). Keseringan dan sudah pasti sih ya, saat 'baliyan' saya pasti bawa kardus. Isinya itu macem-macem. Dan kebanyakan barang yang tidak layak masuk ransel. Misalnya mie instan, beras, petis, gula, atau minyak goreng. Bisa juga buah-buahan pada musim itu. Keseringan mangga, srikaya, jambu air,timun, dan masih banyak lagi. Kardus yang biasanya dipake ya kardus bekas. Paling sering bekasnya Mie instan atau bekas bungkusnya air mineral. Ukurannya 8"x10" biasanya.


Ga pernah mikir sih kenapa banyak orang membawa kardus-kardus semacam itu dalam perjalanan, terutama mereka yang berangkat dari Madura atau hendak ke Madura? Baru terpikirkan dan terperhatikan saat ini, ketika saya mulai jarang melakukannya lagi. Saat hendak naik bis, misalnya, selalu saja saya bertemu dan melihat orang-orang seperti itu, membawa kardus, dari Madura pergi ke Jawa atau sebaliknya. Di perjalanan, saya benar-benar tidak sendirian. Di halte atau pertigaan serta tempat orang-orang menunggu bus dan tempat perhentian bis antarkota, selalu saja saya temukan orang yang selau membawa kardus untuk membungkus barang bawaannya. Bagi kami, kardus adalah semacam ‘koper yang tertunda’. Ia terkadang dimasukkan ke dalam bagasi atau juga setara dengan penumpang lainnya; masuk ke dalam kabin bis. Orang Madura nyaris identik dengan pemandangan ini. Oleh karena itu, andaikan Anda menemukan pemandangan tersebut di, misalnya, Bandar Udara Incheon atau di Schiphol, cobalah langsung disapa dengan Bahasa Madura. Wkwkwkwkwk :b

Pernah sih saya ngobrol sama kenek sebuah perusahaan otobis yang melayani trayek Jakarta-Madura. Dari narasumber, saya mendengar keluhan bahwa ia terkadang stress menghadapi penumpang Madura karena terkadang satu penumpang bisa membawa kardus berjibun, sebanyak satu Carry bak terbuka: entah ini hiperbola atau memang sejumlah itu banyaknya. Yang pasti, bahwa kerap ada barang bawaan penumpang yang lebih berat daripada berat badannya sendiri. (Kembali ke kru…) Di sisi lain, PO mereka tersebut justru menjadi laris dan menjadi pilihan penumpang Madura karena tidak mengenakan tarif barang (kecuali tip biasa), berbeda dengan armada pesaing yang mengenakan tarif barang untuk jumlah di luar batas normal.

Dari kenyataan, saya lantas berpikir bahwa masyarakat Madura (atau mana pun) yang percaya pada filosofi ‘oleh-oleh’, cenderung akan membawa oleh-oleh dari rumahnya dengan pengutamaan jenis buah tangan yang tidak ada atau jarang ditemukan di tempat tujuan. Akan tetapi, pada praktiknya, kriteria oleh-oleh yang demikian itu sudah susah sekali dipegang karena banyak faktor, salah satunya adalah ‘globalisasi’ seiring makin ‘sempitnya dunia’: Dodol Garut dengan mudah diperoleh di Madura sebagaimana Jenang Kudus pun dapat ditemukan di mana-mana. Maka, filosofi yang terus bertahan sehingga oleh-oleh itu selalu ada dan selalu dibawa adalah karena oleh-oleh itu disyaratkan menempuh perjalanan panjang. Contoh: orang Madura tetap membawa oleh-oleh beras dan gula, misalnya, walaupun di saat mengunjungi sanak saudaranya yang tinggal di Jatiroto, yakni tempat pabrik gula terbesar di Indonesia itu berada.

*Back to Kardus

Bisa diartikan dari gambaran ini, bahwa oleh-oleh yang dibawa di dalam kardus oleh orang-orang Madura itu biasanya cenderung berupa ‘barang kasar’, seperti buah kelapa, dll, dan telah menempuh perjalanan jauh, bukan sekadar barang yang akan diberikan kepada tuan rumah atau sanak yang hendak dikunjungi atau keluarga yang menunggu di rumah namun dibeli di dekat tujuan. Buktinya, sering saya jumpai orang yang membawa ayam dari Madura ke Jember sebagai oleh-oleh, padahal, apa iya di Jember tidak ada ayam? Filosofinya: ayam Jember akan berbeda dengan ayam Madura meskipun ras-nya sama, sebab ayam Madura yang dibawa ke Jember sudah pengalaman naik AKAS. Intinya: jarak dan perjalanan juga menentukan nilai oleh-oleh sebagai buah tangan. ツ