Selasa, 19 April 2016

You Said,

Kamu bilang lewat secangkir kopi sederhana yang kita nikmati bergantian, bahwa menjadi bersama adalah inginmu sampai tua.

Kamu pernah bilang di antara sepi yang bersenandung di bibirku, bahwa aku punya senyum terindah meski terlalu bungkam hingga kubiarkan ia terlupakan.

Kamu juga bilang pada sebuah sudut kota yang terbenam sore, bahwa aku punya mata yang bisa tersenyum untuk dipandang-pandang karena ia begitu kelam tak terjamah.

Kamu selalu bilang di setiap senja yang muram, bahwa yang terpenting adalah kita merasa bahagia.

Kamu juga sering bilang di resahnya rindu yang bertumpukan dengan kesibukan, bahwa ceritaku yang kekanak-kanakan bisa membuatmu lupa pada rutinitas.

Kamu bilang dengan lantang di tengah siraman hujan siang-malam, pelukku yang sanggup menghangatkan. dan kamu tak pernah berhenti bilang di setiap pertemuan, bahwa cuma susunan kata pada rancunya tulisan-tulisanku yang bisa membuatmu jatuh cinta.

Kamu bilang,kamu akan selalu ingat apa yang kamu bilang.

Cause Honestly I Love Loving You

Karena di sudut manapun, Hujan selalu menakjubkan...

"Why it’s always raining when you’re here?”

Tidak lama ia bertanya. Kemudian lidahmu berubah kelu, kamu tahu hatimu ingin. Namun kamu mulai meragu, bagaimana caranya menjawab pertanyaan tersebut? Bagaimana caranya agar ia menganggap jawabanmu menyenangkan? Bagaimana caranya agar ia tidak kehilangan mood dan tetap menyunggingkan senyumnya?

“Maybe this is how Rain God was greeting me.”
Kamu tahu dirimu hanya sedang gugup. Kamu bahkan tidak sanggup menatapnya dan membuat percakapan normal dengannya. Perhatianmu lebih tertuju pada senyum dan sepasang matanya yang jernih pada pertemuan kalian sore itu, pun hal tersebut tidak mengesampingkan fakta bahwa hatimu masih tak karuan.

“Thank you for today, I’m so sorry if I bothering you.” 
Kemudian kamu mengangguk mengiyakan, padahal jauh di dalam hati kamu merasa tidak bisa banyak membantunya. Merasa bodoh untuk tidak mempersiapkan perbincangan yang lebih menyenangkan, menyesali percakapan nirmakna hanya karena hatimu tak karuan.
Kemudian kamu melangkah gontai menuju kamar, memutar ulang lagu yang tadi terngiang bersamanya sepanjang perjalanan.


A love like this won’t last forever
. I know that a love like this won’t last forever
. But I, I don’t really mind, I don’t really mind at all

Love Like This - Kodaline


Kamu tersenyum dan diam-diam berharap, semoga pertemuan berikutnya akan lebih menyenangkan–jika ada.
Lalu kamu sibuk menghabiskan waktu bermalam-malam dengan menantikan lebih banyak percakapan yang tidak kunjung datang. Kamu kembali tergoda mencari tahu, kembali menemukan halaman-halaman mengenai musik favoritnya, film yang ia sukai, buku yang ia baca, apa yang menjadi caranya untuk menikmati hidup. Kamu kembali menemukan betapa dia dan kamu tak jauh berbeda, kamu menikmati musik yang sama, menyukai buku yang sama, mencintai kegiatan yang sama. Kamu kembali merasa menemukan apa yang kamu cari di dalam satu orang. 
Namun kemudian kamu menemukan satu fakta baru yang tidak ada sebelumnya.

Ia juga memberi satu ketukan pelan di bahu kanan lainnya.
Kamu bukan satu yang istimewa.
 Seolah segala ketertarikan yang terasa ada ternyata tidak hanya antara kamu dan dia, namun juga antara dia dan lainnya.
Padahal kamu tidak merasa banyak berharap, kamu hanya pernah merasa istimewa. Kamu hanya pernah berpikir bahwa kamu mungkin telah menemukan apa yang kamu cari. Kamu hanya pernah beranggapan kamu adalah satu-satunya ketukan di bahu kanan yang ia berikan.

Was it my mistake?
 Or maybe it was just as simple as a change in your heart
. Just as simple as a change in your heart.

Mungkin seperti ini juga menyenangkan, pikirmu. 
Menjadi seseorang yang hanya memikirkannya diam-diam di waktu senggang, setidaknya sampai perasaan itu hilang. Mendapatkan bahagia kecil-kecilan hanya karena tak sengaja berpapasan, itu hak istimewamu.

Tak apa. Perasaan ini akan baik-baik saja.