Kamis, 21 Januari 2010

Islam Tanpa Madzhab, Mungkinkah?

Dewasa ini, ada penisbatan madzhab tertentu kepada Imam tertentu, dan mengklaim kebenaran. Padahal para Imam besar itu tak pernah menganut madzhab tertentu apalagi mengklaimnya Sebut saja namanya Fulan, saat ia melangsungkan ijab-qabul dengan gadis pujaannya, Fulan menikahi tanpa kehadiran wali si gadis, ketika ia ditanya alasannya, Fulanmenjawab,”Saya berpegang kepada madzhab Imam Hanafi, yang membolehkan menikahi seorang gadis tanpa wali”.

Pernikahan itu pun berjalan aman dan lancar, hingga suatu ketika, entah karena setan sedang menguasai dirinya atau memang istrinya yang tidak menjalankan kewajibannya, terlontarlah sebuah lafadz yang mampu menggetarkan arsy Allah, thalak (cerai) !, tak tanggung-tanggung, Si Fulan langsung menthalak tiga istrinya dengan satu lafadz thalak. Saat ia ditanya lagi, ia menjawab,”Dalam kasus thalak ini saya berpegang kepada madzhab Imam Syafi’i, yang menganggap sah satu lafadz dengan niat thalak ba’in (thalak tiga yang mengharamkan ruju’ kecuali setelah istrinya menikah dan dicerai oleh orang lain)”.

Menilik kasus diatas, mungkinkah terjadi dalam kehidupan nyata? Jawabannya, sangat mungkin, karena dipicu oleh beberapa faktor penyebab ; Pertama: Kejahilan (baca ketidaktahuan) seseorang dalam memahami ajaran agamanya, Kedua , Keinginan nafsunya yang ingin menang dan benar sendiri dengan mencari legitimasi atas perilaku salahnya, Ketiga, Lingkungan pemahaman dan pengamalan Islam yang kurang sehat, dimana ia setiap hari beraktifitas di dalamnya.

Pada kurun-kurun terakhir generasi umat ini, telah berlaku hal-hal yang tak pernah dilakukan oleh para salafus-shalih, termasuk para Imam Mujtahidin : Hanafi, Ahmad, Maliki, Syafi’i, Al Auza’i, Ats-Tsaury dsb. Boleh dikata, apa yang saat ini terjadi dan menjadi kelaziman di tengah-tengah masyarakat kita, tidak pernah terjadi dimasa Imam-imam rahimahullaahu ‘anhum.

Pada masa sekarang, ada penisbatan madzhab tertentu kepada Imam tertentu, ada yang mengklaim kebenaran masing-masing madzhabnya, mereka mewajibkan para pengikut madzhabnya untuk berpegang teguh kepada madzhab yang dianutnya, mengharuskan mereka untuk mengambil semua pendapat Imam madzhabnya, bila ada seseorang yang mengambil pendapat madzhab lain dalam satu masalah, mereka anggap itu talfiq (mencampuraduk madzhab) dan tidak konsisten.

Padahal para Imam besar itu tak pernah melakukan apa yang saat ini dilakukan oleh para pengikut “fanatiknya”, para Mujtahidin rahimahullahu ‘anhum itu tak pernah sama sekali mengklaim bahwa mereka menganut madzhab tertentu, tidak pernah sekalipun mewajibkan para pengikut mereka untuk berpegang teguh kepada pendapat, tindakan, dan ijtihad mereka, serta tak pernah melarang para pengikutnya keluar dari madzhabnya.

Yang mereka lakukan pada masa mereka adalah berijtihad atas sebuah masalah, lantas ada sebagian kaum Muslimin yang mengikuti (ittiba’) pendapat para Imam tersebut lantaran kompetensi (kefaqihan) mereka dalam istinbathul hukmi (pengambilan hukum).

Jadi mereka sangat terbuka dalam pendapat-pendapat mereka, mari kita simak sebagian perkataan-perkataan mereka ; Imam Malik berkata, Setiap perkataan manusia bisa diikuti, bisa juga dibantah, kecuali pendapat penghuni makam ini (sambil menunjuk makam Rasulullah SAW)”

Imam Syafi’i berkata “Jika kalian mendapati dalam kitabku, pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka ambillah sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkan pendapatku”.

Imam Ahmad berkata, ”Janganlah kalian bertaqlid (mengikuti/membeo tanpa tahu dasar rujukannya) kepadaku, jangan pula kepada Malik, Syafi’i, Al Auza’i, Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (pendapat mereka)”.

Imam Hanafi berkata, “Celakalah kamu, wahai Abu Yusuf, janganlah engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dariku, karena kadang saya berpendapat hari ini dan besok aku tinggalkan (berpendapat lain), dan besok aku berpendapat begini, lalu aku tinggalkan lusanya..”.

Sehingga berkembang dikalangan mereka sebuah idiom kala itu bahwa “Jika hadits itu shahih (benar) maka itulah madzhabku” karena para Imam madzhab itu bersepakat bahwa dalam masalah apapun, tanpa terkecuali, akan mereka kembalikan kepada sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alihi wasallam, tanpa mempedulikan pendapat orang, siapapun orang tersebut.

Kesimpulannya, setelah ditelaah maka akan didapatkan bahwa madzhab utama para Imam madzhab tersebut terdiri atas tiga prinsip utama ; Pertama, Keshahihan (validitas) hadits dari rasulullah SAW, Kedua, Jika pendapat mereka bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW, maka mereka akan meninggalkan pendapat mereka dan selanjutnya mengambil pendapat Rasulullah SAW, Ketiga, Jika ada hadits shahih yang bertentangan dengan pendapat mereka dalam suatu masalah, maka mereka akan menarik/mencabut pendapat mereka, baik ketika mereka masih hidup ataupun sesudah mereka meninggal.

Sehingga tak heran, bila terjadi seorang pengikut salah satu madzhab, justru berpendapat dengan pendapat Imam madzhab lain, seperti terjadi saat Imam An Nawawi dalam kitab Al Majmu’ yang lebih berpendapat bahwa penafsiran shalat wustha dalam Al Qur’an adalah shalat ashar berdasarkan sebuah hadits shahih dari Rasulullah SAW dari pada pendapat lain yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat shubuh. Padahal penafsiran shalat wustha dengan shalat shubuh adalah pendapat Imam Syafi’i dimana Imam Nawawi merupakan pengikut Imam Syafi’i (As-Syafi’iyyah). Disini nampak betapa jernih dan rasionalnya cara berfikir Imam Nawawi, jauh dari kesan ‘ashabiyyah (fanatisme sempit), taqlid buta, pokok’e jare ....... (pokoknya kata ..... pasti benar !).

Mereka lebih mengedepankan nash-nash yang shahih dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam diatas semua pendapat manusia, mereka lebih mengutamakan prilaku dan tindakan Rasulullah dari tindakan siapapun juga karena kedudukan dan martabat Rasulullah jauh lebih tinggi dari kedudukan dan martabat siapapun juga. Betapa tegas dan elegannya pendapat ini sebab pendapat semacam ini akan membuat hati kaum Mu’minin dingin dan tenang karena kebenaran kembali kepada posisinya yang semula.

Contoh kisah diatas adalah sebuah contoh dari talfiq (mencampuraduk madzhab) dalam konotasi yang negatif, dimana si Fulan begitu mudahnya berpindah madzhab, bukan lantaran mengikuti pendapat yang lebih rajih (kuat) tapi lebih karena memilih pendapat madzhab yang sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya, inilah yang harus kita hindari.

Adapun talfiq dalam pengertian yang positif sebagaimana dipraktekkan oleh para imam madzhab, adalah sebuah keniscayaan dimana setiap Muslim dan Muslimah dituntut untuk mengetahui dan mengamalkannya dalam prinsip ; Muslim bermadzhab “In shahhal hadiitsu fahuwa madzhabi (Jika ada hadits yang lebih shahih, maka itu adalah madzhabku ....”

sekalian saya lampirkan buku tentang islam tanpa madzhab..
silahkan klik link : http://www.books.web.id/2009/01/islam-tanpa-mazhab.html

Wallaahu Al Muwaafiq lis-shawaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar